11 Sebab Meraih Cinta Allah
Seorang hamba tentunya sangat menginginkan cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena sesungguhnya tujuan akhir dari hidupnya adalah berjumpa dengan Allah dalam keadaan Allah ridha dan cinta kepada-Nya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ
“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya”. (QS. Al-Fajr: 28)
Berikut beberapa sebab agar kita mendapatkan cinta dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang kami nukil dari kitab al-Bidayah fi Ilmi ar-Raqaiq karya Syaikh Wahid bin Abdissalam Baliy.
Satu, membaca Al-Qur’an serta mentadabburinya
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai petunjuk bagi orang beriman dan bertaqwa. Allah berfirman,
ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ …
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, …” (QS. Al-Baqarah: 2)
Dan untuk mendapatkan petunjuk dari Al-Qur’an, maka kita harus membacanya, mempelajari, serta mentadabburi apa yang terkandung di dalamnya.
Dua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amal-amal sunnah.
Allah mewajibkan beberapa perkara ibadah untuk dilaksanakan oleh para hamba, sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Allah pun juga telah memberikan syariat kepada manusia berupa amal-amal yang sunnah. Amal sunnah ini, selain sebagai penambah amal wajib, ia juga mampu menghadirkan cinta dari Allah Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: ‘Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka aku umumkan perang kepadanya. Dan tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan suatu amalan yang lebih aku cintai daripada amal yang Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan perkara sunnah hingga Aku mencintainya.’” ) (HR. Bukhari no. 6137)
Tiga, Membiasakan diri untuk berdzikir kepada Allah Ta’ala dalam segala kondisi.
Berdzikir artinya mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan lisan dan hatinya. Ada banyak lafadz dzikir yang bisa dibaca, misalnya berdzikir dengan membaca laa ilaaha illalllah, subhanallah, alhamdulillah, dll.
Berdzikir bisa dilakukan kapan daja dan dimana saja, selama bukan pada tempat-tempat yang dilarang, tempat yang dilarang untuk berdzikir misalnya adalah kamar mandi atau kakus.
Allah Ta’ala berfirman,
فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ
“Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152)
Empat, mengutamakan cinta-Nya daripada kecintaannya kepada diri sendiri saat dikuasai hawa nafsu.
Salah satu perkara yang mungkin berat adalah mengendalikan diri saat dihadapkan pada hawa nafsu. Kecenderungan manusia adalah melakukan apa yang diinginkannya. Salah satu hal yang bisa kita coba untuk melawan itu adalah menghadirkan rasa bahwa kita butuh akan cinta-Nya. Ada doa yang diajarkan oleh Rasulullah yang sangat bagus dalam hal ini, Imam an-Nawawi dalam kitabnya Riyadhus Shalihin membawakan satu hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كانَ مِنْ دُعاءِ دَاوُدَ: اللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَالعَمَلَ الَّذِي يُبَلِّغُنِي حُبَّكَ، اللَّهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبَّ إلَيَّ مِنْ نَفْسِي، وَأَهْلِي، وَمِنَ المَاءِ البَارِدِ
“Di antara doa Nabi Dawud ‘alaihissalam adalah: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon agar aku bisa mencintai-Mu, mencintai orang yang mencintai-Mu, dan mencintai amalan yang bisa mengantarkan aku kepada cinta-Mu. Ya Allah, jadikanlah cinta-Mu lebih aku cintai dari diriku sendiri, keluargaku dan air dingin.’” (HR. Tirmidzi, Hasan)
Lima, mentadabburi makna-makna asma’ wa sifat-Nya serta berdoa dengan menggunakan asma’ wa sifat tersebut.
Sesungguhnya Allah memilik al-asma’ul husna wa as-shifatul ‘ulya, nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang mulia. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,
لله تسعة وتسعون اسما من حفظها دخل الجنة
“Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, barangsiapa yang menjaganya, maka dia masuk Surga.” (HR. Muslim, 2677)
Mentadabburi makna al-asma’ wa ash-shifat berarti mempelajari maknanya, kandungan isinya, dan meyakininya dengan hati yang penuh keyakinan tanpa sedikit pun keraguan.
Juga, menggunakan al-asma’ wa ash-shifat dalam setiap doa-doa kita yang kita panjatkan kepada Allah. Misalnya dengan mengatakan “Ya Ghaffaar, ampunilah dosa-dosa kami. Ya Razzaaq, berikanlah kami rizki yang halal.” dan sebagainya.
Hal ini sebagaimana yang Allah perintahkan dalam firman-Nya,
وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَاۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اَسْمَاۤىِٕهٖۗ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ۖ
“Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Araf: 180)
Enam, meresapi nikmat Allah dalam gerak dan diamnya, serta memuji-Nya atas nikmat tersebut.
Nikmat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada kita adalah nikmat yang tidak bisa kita hitung, baik berupa nikmat dunia maupun nikmat agama. Hanya saja kita sebagai manusia sering lupa untuk mensyukuri nikmat tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl: 18)
Maka meresapi nikmat Allah yang telah Allah berikan kepada kita adalah sebuah keniscayaan, memuji dan bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya adalah sebuah kewajiban yang mestinya senantiasa dilakukan oleh setiap hamba yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan,
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.’” (QS. Ibrahim: 7)
Tujuh, menundukkan hati di hadapan Allah Ta’ala.
Kita tunduk kepada-Nya karena memang kita hanya seorang hamba, sementara Dia adalah Rabba semesta alam. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah menciptakan kita, memberi kita rizki, menganugerahkan segala macam kenikmatan, lalu kepada siapa lagi kita menundukkan hati jika bukan kepada Allah?
Delapan, menyendiri dengan Allah pada saat turun-Nya di sepertiga malam terakhir, bermunajat kepada-Nya dan melaksanakan qiyamullail.
Berkhalwat dengan Allah merupakan kelezatan tersendiri bagi seorang mukmin, khususnya di waktu malam saat sepertiga malam yang terakhir. Dari sisi kenyamanan waktu, sepertiga malam terakhir adalah waktu ternyaman untuk kita bermunajat kepada-Nya. Pun pada waktu itu juga merupakan waktu mustajab untuk berdoa kepada-Nya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ، فَيَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam pada saat sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku maka Aku akan kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku maka akan Aku beri, siapa yang memohon ampunan kepada-Ku maka akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari, no. 7494)
Bermunajat di sepertiga malam terakhir juga merupakan sebab Allah memasukkan orang ke dalam Surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصَلُّوا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُونَ الجَنَّةَ بِسَلَامٍ
"Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, dan shalatlah di malam hari saat manusia sedang tidur, maka kalian akan masuk surga dengan selamat.” (HR. Tirmidzi, no. 2485)
Sembilan, bermajelis dengan orang-orang yang mencintai Allah dan para shiddiqin.
Orang yang selalu bersama dengan penjual minyak wangi, ia akan menjadi wangi, minimal ia akan mencium bau wanginya. Orang yang selalu bersama dengan pandai besi, ia akan terkena percikan apinya, minimal ia akan ikut mencium bau tidak sedap. Begitulah gambaran pergaulan seorang mukmin, agama seorang mukmin tercermin dari pergaulannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seorang laki-laki itu tergantung pada agama temannya, maka lihatlah kepada dia berteman.” (HR. Abu Dawud no. 4833)
Oleh karenanya, jika kita bergaul dengan orang-orang yang mencintai Allah, insyaAllah kita juga akan ikut mencintai Allah, bergaul dengan orang-orang yang senang taat dan beribadah kepada Allah, insyaAllah kita juga akan termotivasi untuk taat dan beribadah kepada Allah. Paling tidak, jika kita malas untuk taat dan beribadah kepada Allah, akan ada orang-orang yang ikhlas mengingatkan kita. Maka perhatikanlah kepada siapa kita berteman!
Sepuluh, membaca sejarah hidup orang-orang yang berilmu, zuhud dan ahli ibadah.
Belajar sejarah itu penting, karena kita bisa mengambil pelajaran dari kisah-kisah orang terdahulu. Membaca sejarah hidup orang-orang yang berilmu, zuhud dan ahli ibadah akan bisa menjadi cermin instropeksi bagi kita bahwa ternyata ilmu dan ibadah kita belumlah seberapa.
Melimpah buku-buku yang menjelaskan tentang kehidupan kaum salaf terdahulu, kita bisa mengambil faidah dari mereka, meniru jejak langkah mereka, dan belajar kesabaran dan kezuhudan dari mereka. Maka jika kita penat dengan sibuknya urusan dunia kita, cobalah untuk membuka kembali lembaran-lembaran kezuhudan dan ibadah orang-orang zaman dulu, insyaAllah kita akan menemukan oase di sana.
Sebelas, menjauhi semua sebab yang bisa menghalangi antara hatinya dengan Allah
Bertaqarrub atau mendekatkan diri kita kepada Allah kiranya belumlah lengkap jika tidak menjauhi sebab-sebab yang menjauhkan hati kita dengan Allah. Sebagaimana melaksanakan perintah, belum lengkap jika tidak menjauhi larangan. Ini ibarat dua sisi yang harus berjalan beriring bersama.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai-Nya dan dicintai oleh-Nya. Aamiin.
Temanggung, 23 Muharram 1445 H / 10 Agustus 2023 M
Ja’far Shodiq
Referensi:
Al-Bidayah fi Ilmi ar-Raqaiq, Syaikh Wahid bin Abdissalam Bali.
Shahih Bukhari
Shahih Muslim
Sunan at-Tirmidzi
Sunan Abu Dawud
sudah diringkas -syifa fatya labiba-
sudah meringkas ustad bilqis mahie
sudah meresum ustadz(lubna zahratu syifa)
sudah meringkas_alya nurul taqiyyah_