Menyikapi Berita

 

Tidak bisa dipungkiri bahwa persebaran berita kini semakin pesat. Setiap orang bisa menjadi sumber berita dan juga penyebar berita. Media sosial yang kian menjamur menjadi sarana yang aduhai untuk penyebaran berita tersebut. Televisi? Agaknya harus mengakui kekalahannya berhadapan dengan media sosial.

Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena tersebut?

Teladan Umar bin Khattab

Mengenai hal ini ada teladan yang baik yang dicontohkan oleh Amirul Mukminin ketika itu, Umar bin Khattab yang bergelar Al-Faruq. Ketika beliau mendapatkan laporan dari rakyat Al-Hims tentang gubernur mereka, Said bin Amir Al-Jumahi. Ketika Umar bin Khattab singgah di wilayah Hims, maka umar bertanya kepada penduduknya, “Bagaimana pendapat kalian tentang gubernur kalian?”

Kemudian mereka mengadukan kepadanya empat keluhan tentang pemimpin mereka Said bin Amir. Umar kemudian mengumpulkan sang Gubernur dengan sebagian dari rakyat Al-Hims dalam suatu majelis, dan ketika gubernur dan para wakil rakyat telah berkumpul di hadapan Umar, beliau berkata, “Apa yang kalian keluhkan dari gubernur kalian?”

Mereka menjawab, “Beliau tidak keluar kepada kami kecuali jika hari telah siang.” Maka Umar berkata, “Apa jawabmu tentang hal itu wahai Said?”

Maka Said berkata, “Demi Allah sesungguhnya aku tidak ingin mengucapkan hal itu, namun kalau memang harus dijawab, sesungguhnya keluargaku tidak memiliki pembantu, maka setiap pagi terpaksa aku harus membantu istriku membuat adonan, kemudian aku tunggu sebentar hingga adonan itu menjadi mengembang, aku buat adonan itu menjadi roti untuk mereka, baru aku berwudhu dan keluar menemui orang-orang.”

Umar berkata: “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” Wakil dari rakyatnya menjawab, “Sesungguhnya beliau tidak menerima tamu pada malam hari.” Umar berkata, “Apa jawabmu tentang hal itu wahai Said?”

Said menjawab, “Sesungguhnya demi Allah, aku sebenarnya tidak suka mengumumkan hal ini juga, aku telah menjadikan siang hari untuk mereka dan malam hari hanya untuk Allah ‘Azza wa Jalla.”

Umar meneruskan, “Wahai rakyat, apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” mereka menjawab, “Sesunggunya beliau tidak keluar menemui kami satu hari dalam setiap bulannya.” Umar berkata, “Dan apa ini wahai Said?”

Said sang Gubernur Hims menjawab, “Aku tidak mempunyai pembantu wahai Amirul Mukminin, dan aku tidak mempunyai baju kecuali yang aku pakai ini, dan aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan aku menunggunya hingga baju ini kering, kemudian aku keluar menermui mereka pada sore hari.”

Kemudian Umar melanjutkan, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” Wakil rakyatnya menjawab, “Beliau sering pingsan, hingga ia tidak tahu orang-orang yang duduk di majlisnya.” Lalu Umar berkata, “Dan bagaimana mengenai ini wahai Said?”

Maka Said bin Amir menjawab, “Aku telah menyaksikan pembunuhan Khubaib bin Adi, kala itu aku masih musyrik, dan aku melihat orang-orang Quraisy memotonng-motong badannya sambil berkata, “Apakah kamu ingin kalau Muhammad menjadi penggantimu?” maka Khubaib berkata, “Demi Allah aku tidak ingin merasa tenang dengan istri dan anak, sementara Muhammad tertusuk duri …”. Dan demi Allah, aku tidak mengingat hari itu dan bagaimana aku tidak menolongnya saat itu, kecuali aku khawatir bahwa Allah tidak mengampuni aku, maka aku pun jatuh pingsan setiap kali teringat peristiwa itu.”

Ketika itu Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menyimpangkan dugaanku terhadapnya.” (Hilyatul Auliya’)

Pembaca, kita tidak sedang membahas tentang kesederhanaan sang gubernur, pembahasan itu ada di tempat lain. Tapi mari sekarang kita mencoba mencermati teladan Amirul Mukminin ketika beliau mendengar kabar tentang gubernur rakyat Al-Hims. Sungguh betapa mulianya akhlak Umar. Bagaimana jika kita yang ada pada posisi Umar? Mungkin sebagian kita akan langsung mempercayai berita dari rakyat Al-Hims karena jumlah mereka banyak, sebagaimana ketika kita mempercayai berita media yang begitu massif mengabarkan sebuah berita terkini.

Namun, Umar bukanlah kita, beliau, sebagai umat Muhammad terbaik setelah Abu Bakar melakukan tabayyun (klarifikasi) terhadap berita yang dibawa oleh rakyat. Tidak langsung mempercayai, tidak langsung menuduh seperti yang dituduhkan oleh pembawa berita.

Tabayyun ini diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya:

يا أيها الذين أمنوا إن جاءكم فاسق بنبإ فتبينوا أن تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Mufassir menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa yang terjadi antara Rasulullah, Harits bin Dhirar dan Walid bin ‘Uqbah. Setelah Harits bin Dhirar masuk Islam, Rasulullah memerintahkan ia untuk berzakat. Maka ia pulang menuju kampung halamannya dan mengajak kaumnya untuk memasuki agama Islam dan kemudian membayar zakat. Namun sebelumnya ia meminta agar Rasulullah mengirimkan utusan untuk mengambil zakat tersebut apabila telah sampai waktunya.

Akan tetapi ketika Bani Mushthaliq telah menerima Islam dan zakat telah dikumpulkan, ternyata utusan Rasulullah belum juga datang. Harits pun menyangka kalau-kalau ada sesuatu yang tidak berkenan pada diri Rasulullah. Maka Harits dan kaumnya berinisiatif untuk mengantar sendiri zakat itu kepada Rasulullah.

Pada saat yang sama, Rasulullah mengutus Walid bin ‘Uqbah untuk mengambil zakat dari Bani Musthaliq. Walid pun berangkat. Di tengah jalan, Walid melihat Harits dan kaumnya hendak menuju Rasulullah, ia pun karena merasa takut akhirnya balik menuju Rasulullah dan membawa berita yang tidak benar. Walid melaporkan kepada Rasulullah bahwa Harits tidak mau membayar zakat bahkan akan membunuhnya.

Rasulullah pun kemudian mengutus beberapa utusan untuk menemui Harits. Ketika utusan itu bertemu dengan Harits, Harits berkata kepada mereka, “Kepada siapa kalian diutus?”. “Kepadamu.” Jawab mereka. “Untuk apa?” Utusan itu menjelaskan, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Walid bin ‘Uqbah kepadamu untuk mengambil zakat, dan ia mengatakan bahwa engkau tidak mau membayar zakat dan bahkan akan mambunuhnya.”

Harits menjawab, “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya dan tidak ada yang datang kepadaku.” Maka ketika mereka sampai kepada Rasulullah, beliau pun bertanya, “Benarkah kamu menolak membayar zakat dan hendak membunuh utusanku?” harits menjawab, “Tidak. Demi Allah yang telah mengutusmu dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya dan tidak ada yang datang kepadaku.” Maka turunlah ayat tersebut. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)

Saudaraku, bagaimana jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam percaya begitu saja dengan berita yang dibawa oleh Walid? Tentu akan ada hal-hal tidak baik yang akan terjadi. Namun Rasulullah mencontohkan kepada kita untuk bertabayyun terhadap suatu kabar berita yang kita belum tahu benar salahnya.

Diantara yang diharamkan oleh Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian durhaka kepada ibu, mengubur anak perempuan hidup-hidup, menahan dan menuntut, dan Allah tidak suka kalian banyak bicara, banyak bertanya, dan menghambur-hamburkan harta.” (Muttafaqun ‘alaih)

Imam Ash-Shan’ani dalam subulus salamnya menjelaskan tentang qiila wa qaala (banyak bicara, katanya dan katanya), “Artinya kata tersebut membawa berita yang ia dengar kepada orang lain dan berkata, ‘dikatakan begini dan begitu.’ Tanpa memberitahukan siapa yang berbicara. Seperti, si fulan berkata: begini dan begitu. Hal ini dilarang karena termasuk dalam perbuatan menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak penting. Perkataan seperti ini kemungkinan mengandung unsur ghibah, adu domba dan dusta. Terlebih lagi orang yang suka berbuat demikian jarang sekali terlepas dari hal yang jelek tersebut.”

Sabda Nabi juga:

“Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta ketika ia mengatakan setiap apa yang ia dengar.” (HR. Muslim)

Na’udzubillah. Rasulullah mencukupkan penamaan pendusta kepada seseorang ketika ia membicarakan setiap apa yang ia dengarkan dari orang lain. Termasuk juga mari bersama-sama berusaha untuk berhati-hati dalam meng-klik tombol share di media sosial dan yang semisalnya. Wallahu a’lam.

 

-------

Referensi:

Hilyatul Auliya’

Shahih Muslim

Subulussalam

Tafsir Ibnu Katsir

 

Sumber gambar:

www.republika.co.id

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url