6 Tipe Manusia Pasca Ngaji


Majelis ilmu (ngaji) tidak selalunya menghasilkan output manusia yang sama. Ada beberapa tipe manusia setelah mereka mengikuti kajian atau pengajian:

Pertama, orang yang meninggalkan majelis ilmu, sementara ilmu yang dia dapatkan di sana tidak membekas pada dirinya sama sekali.

Tipe ini adalah seburuk-buruk tipe, dimana susahnya dia berjalan menuju majelis ilmu tidak bermanfaat untuk kehidupannya. Sementara duduk di majelis ilmu hakikatnya bukanlah tujuan, namun wasilah (sarana) untuk melakukan perubahan kebaikan dalam setiap sisi kehidupannya. Maka tidak cukup hanya duduk di majelis ilmu tanpa ada perubahan kebaikan dalam kehidupannya.

Orang jawa bilang “bungentuwo, melbu kuping tengen, metu kuping kiwo” (ilmunya hanya masuk telinga kanan namun langsung keluar lewat telinga kiri). Sisi baik dari orang ini adalah dia sudah mau berangkat ke majelis ilmu, paling tidak pada saat itu dia tidak melakukan kemaksiatan. Orang seperti ini masih sangat bisa diharapkan kebaikannya. Semoga dengan seringnya dia menghadiri majelis ilmu, meskipun saat ini majelis ilmunya tidak membekas kepada dirinya, ke depan dia akan membuka diri untuk menerima ilmu dan meresapkannya ke dalam hati lalu membawa perubahan kebaikan.

Namun seandainya dia masih terus saja melenggang dengan keadaan tersebut, majelis ilmunya tidak membekas sama sekali terhadap dirinya, dia masih senang meninggalkan kewajiban dan masih suka melanggar larangan, sungguh sangat disayangkan. Dikhawatirkan akan menimpa kepadanya apa yang Allah firmankan:

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ طَبَعَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. An-Nahl: 108)

Kedua, orang yang mampu mengambil manfaat dari majelis ilmu yang dia datangi, ilmunya membekas padanya hingga dia mau mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan perkara-perkara yang haram. Merekalah orang pertangahan dan orang-orang yang baik.

Inilah tujuan dari diadakannya mejelis-majelis ilmu, basyiiran wa nadziiran, memberi kabar gembira dan memberi peringatan. Memberi kabar gembira dengan Surga beserta segala kenikmatannya, hingga dia bersemangat dalam taat untuk meraih Surga tersebut. Memberi peringatan dengan Neraka beserta segala pedihnya hingga dia menghindar sejauh-jauhnya dari Neraka dengan cara meninggalkan perkara-perkara haram.

Paling tidak, itulah hal wajib yang harus dilakukan oleh mukallaf (orang yang terkena beban taklif / kewajiban dan larangan). Meskipun dia belum bisa melakukan perkara-perkara yang sunnah dan menghindari perkara-perkara yang makruh. Namun sampai di sini, insyaAllah dia aman, dan termasuk orang yang baik.

Orang seperti ini mau melakukan perkara-perkara wajib, seperti; shalat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, haji jika dia mampu, berbakti kepada orang tua, berkata dengan perkataan yang baik dll. Dia juga mau meninggalkan perkara-perkara haram, seperti; berjudi, meminum khamr, berzina, membunuh, mencuri, dll.

Tipe kedua inilah tipe minimal yang harus kita ambil.

Ketiga, lebih dari tipe yang kedua, orang ini selain mau meninggalkan kewajiban, ia juga mau mengerjakan perkara-perkara sunnah sebagai penambah dari ibadahnya yang wajib. Ia juga mau meninggalkan perbuatan-perbuatan yang makruh, sebagai upaya lanjut dari meninggalkan perkara-perkara yang haram. Merekalah tipe assaabiquun, orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan.

Contoh amalan sunnah yang dilakukan; shalat sunnah rawatib qabliyah dan ba’diyah, shalat tahajjud dan tarawih, shalat tahiyatul masjid, shalat istikharah, shalat dhuha, puasa Dawud, puasa senin kamis, puasa ayyamul bidh, puasa arafah, puasa asyura, puasa enam hari di bulan Syawal, shadaqah kepada fakir miskin, infaq untuk pembangunan Masjid atau pesantren, umrah jika dia mampu dll.

Dari tipe yang ketiga ini terbagi lagi menjadi tipe yang keempat, kelima, dan keenam. Penjelasannya sebagai berikut:

Keempat, orang yang mampu mengambil manfaat dari majelis ilmu, hatinya dipenuhi dengan iman, namun ketika dia bertemu dengan segala urusan dan pernak-pernik dunia, dunia mampu memalingkan dia dari mengingat akhirat.

Tipe inilah yang pernah dikeluhkan oleh Handzalah, sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia. Dalam Shahih Muslim, dari Handzalah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulullah, Handzalah munafiq.” Rasulullah bersabda: “Kenapa bisa begitu?” Handzalah menjadawab: “Di sisimu kami menjadi orang yang selalu mengingat Surga dan Neraka hingga seolah-olah kami melihat dengan mata kepala kami. Namun jika kami telah berpisah darimu, istri dan kebun kami telah melalaikan kami, kami banyak melupakan Surga dan Neraka.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Seandainya kamu selalu berada pada keadaan seperti keadaanmu ketika kamu dekat denganku, maka sungguh para malaikat akan menyalami kalian di majelis-majelis dan jalan-jalan kalian, akan tetapi wahai Handzalah, ada saatnya begini dan ada saatnya begitu (Rasulullah mengulanginya sampai tiga kali).”

Keadaan Handzalah yang saat bersama Nabi menjadi pribadi yang selalu ingat akhirat, namun saat tidak bersama Nabi cukup disibukkan dengan dunia, adalah keadaan yang paling sering menimpa kita. Saat berada di majelis ilmu kita merasa nyaman, semangat ibdahnya tinggi, merasa dekat dengan Allah. Namun saat kita meninggalkan majelis ilmu, hati kita dipenuhi dengan keinginan-keinginan duniawi.

Oleh karenanya, dari sudut pandang ini, menghadiri majelis ilmu sangat dibutuhkan untuk semua orang. Terlebih kita mengetahui bahwa iman kita kadang pasang dan kadang surut, labil. Maka menghadiri majelis ilmu menjadi salah satu upaya untuk terus meningkatkan iman dan taqwa kita.

Kelima, orang yang mampu mengambil manfaat dari majelis ilmu, hatinya dipenuhi dengan iman, dia menyibukkan diri dengan hal tersebut, sehingga terkadang sedikit mengabaikan urusan dunia.

Rasa takutnya yang luar bisa akan mengerasnya hati dan berkurangnya iman, menjadikan dia memilih untuk menyendiri. Dalam kesendiriannya dia bisa lebih mendekat kepada Allah tanpa ada godaan dari orang-orang fasik. Dan dalam kesendiriannya dia juga terjaga dari perbuatan-perbuatan maksiat karena sarana untuk bermaksiat menjadi tidak ada atau berkurang.

Tipe yang kelima ini bisa saja diterapkan jika memang orang tersebut tidak mampu merubah keburukan di tengah-tengah manusia, dan andai dia bercampur dengan manusia dia sangat yakin akan menjadi orang yang buruk, fasiq atau bahkan hilang keimanannya.

Keenam, orang yang mampu mengambil manfaat dari majelis ilmu, hatinya dipenuhi dengan iman, namun ia juga mengurusi urusan-urusan dunia, berinteraksi dengan manusia lain, dengan tetap memegang prinsip-prinsip iman.

Inilah tipe orang yang luar biasa. Karena dengan ini dia bisa melakukan ketaatan-ketaatan lain yang berkaitan dengan hak-hak manusia. Dia bisa beramar makruf nahi munkar, bisa berdakwah, mengajarkan ilmu, berjihad, menghidupi keluarga, sabar terhadap gangguan dll. Badannya berada di tengah-tengah manusia, namun hatinya tergantung kepada akhirat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

‌الْمُؤْمِنُ ‌الَّذِي ‌يُخَالِطُ ‌النَّاسَ، وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ، أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي لَا يُخَالِطُهُمْ، وَلَا يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ

“Seorang mukmin yang berinteraksi dengan manusia, sabar terhadap gangguan mereka, lebih besar pahalanya daripada orang yang tidak berinteraksi dengan manusia dan tidak sabar terhadap gangguan mereka.” (HR. Ahmad)

Wallahu a'lam.

Temanggung, 28 Maret 2021 M / 15 Sya'ban 1442 H

-------
Referensi:
Lathaiful Ma'arif, Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, penerbit Darul Fajr lit Turats Kairo Mesir, tahun 2013 M, cetakan kedua.

Sumber gambar: www.salamadian.com
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url