Dampak Maksiat #1

 

Tidaklah Allah melarang sesuatu melainkan pasti ada madharat di dalamnya. Sebagaimana tidaklah Allah memerintahkan sesuatu melainkan pasti ada kebaikan di dalamnya. Allah adalah Dzat yang telah menciptakan manusia, maka hanya Allah yang tahu persis mana yang baik dan mana yang buruk bagi mereka.

Maka ketika Allah melarang manusia bermaksiat dengan segala bentuknya, pasti ada madharat yang tersimpan di balik semua itu, hanya terkadang manusia belum mengetahui secara pasti akan madharat yang ditimbulkan. Pada setiap jenis dan bentuk maksiat, masing-masingnya ada madharat yang menyertai, namun secara umum maksiat juga memiliki dampaknya bagi si pelaku.

Berikut di antara dampak maksiat:

TERHALANG DARI ILMU

Ibnul Qayyim berkata tentang hubungan antara ilmu dan maksiat:

فإنّ العلم نور يقذفه الله في القلب، والمعصية تطفئ ذلك النور

“Sesungguhnya ilmu adalah cahaya yang Allah masukkan ke dalam hati, dan maksiat akan bisa memadamkan cahaya itu.” (ad[Y1] -Da’ wad Dawa’)

Ketika Imam Syafi’i duduk di hadapan Imam Malik, Imam Malik melihat kecerdasan dan kebaikan terpancar pada wajah Imam Syafi’i, maka Imam Malik pun berkata:

إني أرى الله قد ألقى على قلبك نورًا، فلا تطفئه بظلمة المعصية

“Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah telah memberikan cahaya kepada hatimu, maka jangan kamu padamkan cahaya itu dengan gelapnya maksiat.”

Sementara itu murid beliau, Imam Syafi’i, pernah mengadu kepada gurunya yang lain, yaitu Imam Waki’, yang aduan tersebut terlantun dalam bait syair yang indah dan penuh makna:

شكوت إلى وكيع سوء حفظي

فأرشدني إلى ترك المعاصي

وقال اعلم بأنّ العلم فضل

وفضل الله لا يؤتاه عاص

“Aku pernah mengadu kepada Imam Waki’ tentang buruknya hafalanku,

Maka Imam Waki’ menasihatiku agar aku meninggalkan maksiat.

Dan Imam Waki’ berkata, ketahuilah bahwa ilmu adalah keutamaan,

Dan keutamaan dari Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiat.”

Bayangkan, sosok Imam Syafi’i yang terkenal begitu kuat hafalannya, seorang pendiri madzhab Syafi’I, sampai mengadu kepada gurunya, dan ternyata nasihat gurunya agar Imam Syafi’i meninggalkan maksiat. Saya kira maksiat yang dilakukan oleh Imam Syafi’i adalah kemaksiatan yang tidak begitu besar, atau kemaksiatan yang dilakukan bukan karena disengaja, mengingat beliau adalah ulama’ besar yang wara’ dan zuhud, andai pun melakukan kemaksiatan pastilah beliau segerat beristighfar memohon ampunan dari Allah.

Namun meski demikian, kemaksiatan yang terjadi menyebabkan hafalan memburuk, tidak seperti biasanya. Artinya bahwa kemaksiatan yang terjadi itu sangat berdampak bagi kemudahan atau kesulitan seseorang dalam mendapatkan ilmu.

Lalu bagaimana dengan kehidupan zaman sekarang, peluang dosa dan maksiat terbuka lebar di mana-mana, rasanya sulit bagi seseorang untuk tidak berdosa setiap hari. Sebentar ke jalan langsung terpampang pemandangan-pemandangan perempuan yang mengumbar auratnya. Membuka layar gawai (gadget) sangat rentan juga dengan gambar-gambar yang tidak senonoh. Sementara melepaskan itu semua sangatlah sulit bahkan mustahil, karena gawai adalah kebutuhan yang tidak bisa terpisah dari dunia 4.0.

Boleh jadi inilah yang menyebabkan seseorang tingkat keilmuannya jauh di bawah standar orang-orang zaman dahulu. Maka yang hidup di zaman 4.0 ini harus memperbanyak istighfar, memperbanyak shalat, puasa, dan seterusnya agar mampu melampaui dosa-dosa yang menempel setiap hari.

Diantara dampak maksiat yang lain adalah:

TERHALANG DARI RIZKI

Semua manusia pasti mengharapkan rizki yang banyak dan halal, agar roda kehidupan terus berputar dengan baik dan lancar. Sunnatullah, Allah telah memberikan bekal tangan, kaki, lisan, akal dll. untuk mencari penghidupannya. Semua manusia menginginkan agar rizkinya lancar dan mudah.

Namun ternyata maksiat dapat menyulitkan rizki bagi palakunya.

Dalam Kitab Musnad disebutkan:

إنّ العبد ليحرم الرزق بالذنب يصيبه

“Seorang hamba terhalang dari rizki disebabkan karena dosa yang dilakukannya.”

Ibnul Qayyim berkata:

وكما أنّ تقوى الله مجلبة للرزق، فترك التقوى مجلبة للفقر

“Sebagaimana taqwa bisa mendatangkan rizki, maka meninggalkan taqwa bisa membawa kefakiran.”

Ini bukan bermaksud bahwa orang yang fakir itu berarti orang yang tidak bertaqwa dan orang yang kaya itu pasti bertaqwa, bukan demikian. Karena rizki tidak identik dengan kaya dan miskin, tidak identik dengan banyak harta yang dimiliki. Kalimat Ibnul Qayyim ini sedang menjelaskan tentang dampak maksiat terhadap perolehan rizki.

Wallahu a’lam.

Temanggung, 16 Sya’ban 1442 H / 29 Maret 2021 M

 

-------

Referensi:

Ad-Da’ wad Dawa’ karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, penerbit ad-Dar al-‘Alamiyah Mesir, cetakan kedua tahun 2017 M.


 [Y1]mdd

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url