Bagaimana Sikapmu Terhadap Tetangga? Perhatikan Hadits Ini!

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلّم: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ فُلَانَة تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَتَصُوْمُ النَّهَارَ وَتَفْعَلُ وَتَصَدَّقَ، وَتُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لَا خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَارِ.

قَالُوا: وَفُلَانَة تُصَلِّى المَكْتُوْبَةَ وَتَصَدَّقَ بِأَثْوَارٍ وَلَا تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلم: هِيَ مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fulanah shalat di malam hari, puasa sunnah di siang hari, beramal, bershadaqah, namun dia menyakiti tetangga dengan lisannya?’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Tidak ada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka.’

Mereka bertanya lagi, ‘Adapun Fulanah yang lain, dia mendirikan shalat wajib, bershadaqah dengan keju, namun tidak menyakiti tetangga?’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dia termasuk penghuni surga.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Kitab al-Adab al-Mufrad nomor 119.

Hadits yang mulia tersebut menjelaskan bagaimana akibat bagi orang yang menyakiti tetangga. Shalat malam dan puasa sunnah yang dia lakukan tidak bisa menutupi dosa menyakiti tetangganya. Maka sampai malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam untuk berbuat baik kepada tetangga.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَا زَالَ جِبْرِيْلُ يُوْصِيْنِيْ بِالجَارِ، حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ

“Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) kepada tetangga, hingga aku mengira tetangga akan mewarisi hartaku.” (HR. Abu Dawud, 5153)

Melimpah hadits-hadits Nabi yang mewajibkan kita untuk berbuat baik kepada tetangga, diantaranya adalah hadits berikut:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلَا يُؤْذِي جَارَهُ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangga.” (HR. Muslim, 47)

Selanjutnya kita akan mengambil faidah dari hadits tentang Fulanah yang terdapat dalam kitab al-Adab al-Mufrad nomor 119 tadi.

Pertama: Etika para sahabat ketika menceritakan keburukan orang, tidak menyebutkan nama dengan jelas.

Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits, bahwa ketika para sahabat bercerita tentang buruknya akhlak seseorang, mereka menyebutkan kata “fulanah”, dalam bahasa Indonesia kita sering bilang “si anu” tanpa menyebutkan nama. Karena inti aduan para sahabat adalah meminta fatwa tentang perbuatan orang tersebut, bukan sedang menghakimi orangnya.

Kedua: Menyakiti tetangga merupakan dosa besar.

Menyakiti tetangga mendapatkan ancaman neraka dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, artinya ada ancaman khusus dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk pelaku dosa menyakiti tetangga. Sementara Imam adz-Dzahabi dalam muqaddimah kitab al-Kabairnya beliau menjelaskan bahwa diantara ciri-ciri dosa besar adalah pelakunya mendapatkan ancaman khusus di akhirat.

Begitu pula kita dapati ancaman bagi pengumpat dan pencela, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-Qur’an surat al-Humazah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍۙ

“Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela.” (QS. Al-Humazah: 1)

Imam at-Thabari menjelaskan bahwa wail (ويل) dalam ayat tersebut adalah sebuah lembah di neraka yang mengalir darah dan nanah penghuni neraka. (Lihat tafsir at-Thabari) Syaikh as-Sa’di menjelaskan bahwa humazah (همزة) adalah menyakiti dengan perbuatan, sementara lumazah (لمزة) adalah menyakiti dengan lisan. (Lihat Tafsir as-Sa’di)

Ketiga: Kebaikan dan keburukan akan dihisab oleh Allah.

Kebaikan yang dilakukan oleh seorang hamba akan diganjar dengan pahala oleh Allah, begitu pula dosa akan diberikan balasan oleh Allah, tidak ada kedzaliman pada hari kiamat kelak. Allah Ta’ala berfirman,

فَاَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهٗۙ فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَّاضِيَةٍۗ وَاَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهٗۙ فَاُمُّهُ هَاوِيَةٌ  ۗ

“Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang). Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah Neraka Hawiyah.” (QS. al-Qari’ah: 6-9)

Seorang wanita yang menyakiti tetangga, meskipun dia shalat malam, puasa sunnah dan bershadaqah, tetap ada ancaman baginya masuk ke dalam neraka. Namun masuknya dia ke dalam neraka tidaklah kekal. Karena selama manusia masih ada iman dalam hatinya dan dia tidak kafir serta tidak musyrik, maka Allah kelak akan memasukkan orang tersebut ke dalam Surga. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam bersabda,

ثُمَّ يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ ذَرَّةً

“Kemudian akan keluar dari neraka, orang yang mengatakan laa ilaaha illallah, sementara dalam hatinya masih ada kebaikan meskipun seberat dzarrah.” (HR. Ahmad, 12153)

Keempat: Larangan meremehkan kemaksiatan.

Sebagaimana kita dilarang untuk meremehkan sebuah kebaikan meskipun kecil, maka kita juga dilarang untuk meremehkan kemaksiatan, apalagi itu adalah kemaksiatan yang besar.

Kelima: Menjaga kewajiban merupakan sebab Allah memasukkan hamba ke dalam surga.

Yaitu ketika para sahabat bercerita tentang fulanah yang lain bahwa ia melakukan shalat wajib dan bershadaqah serta tidak menyakiti tetangga, maka Rasulullah menegaskan ia berada di Surga.

Kita perlu ingat bahwa ibadah itu tidak hanya menjalankan kewajiban, namun meninggalkan larangan juga merupakan ibadah. Wallahu a’lam.


Temanggung, 19 Dzulqa’dah 1444 H / 8 Juni 2023 M

Ja’far Shodiq


Referensi:

  • Sunan Abu Dawud karya Imam Abu Dawud, penerbit Dar ar-Risalah cetakan pertama tahun 2009.
  • Shahih Muslim karya Imam Muslim, penerbit Mathba’ah Isa al-Babiy al-Halbiy Mesir, tahun 1955.
  • Musnad Imam Ahmad karya Imam Ahmad, penerbit Muassasah ar-Risalah, cetakan pertama tahun 2001.
  • Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, penerbit Dar al-Alamiyah Mesir, cetakan kedua tahun 2016.
  • Al-Kabair karya Imam adz-Dzahabi, penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cetakan kedua tahun 2008.

Sumber gambar: https://www.pexels.com/id-id/foto/pintu-tertutup-3015714/

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url